Kamis, 29 April 2010

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

TEMPAT TERAKHIR

Seminggu bersama Aldo, Opa Priyo merasa kecapaian. Ada-ada saja cara yang dirancang Aldo, mulai dari ziarah ke kubur ibunya, mengadakan upacara doa dan selamatan di rumah Eni, wisata berkeliling tempat-tempat wisata di sekitar kota Yogyakarta, acara foto-foto bareng yang akan dibawa ke Eropa, dan banyak lagi yang membuat lelaki 80 tahun itu merasa tersiksa. Lelaki tua itu paham bahwa Aldo ingin berbuat baik pada ayahnya sekaligus ingin melepas segala kerinduannya. Namun, di sisi Opa Priyo, semua itu tak banyak artinya.
Semula ia berjanji dengan Bang Rusdi akan kembali ke panti setelah tiga hari bersama Aldo. Di hari yang kedelapan, hari terakhir Aldo berada di Yogyakarta, Opa minta diantarkan malam itu juga ke panti.
“Esok masih ada hari, Ayah. Besok saja. Sebaiknya Ayah melepasku di bandara, biar aku merasa puas.”
“Tapi justru Ayah merasa terpukul melepasmu. Seolah-olah itulah hari terakhir kita bersama. Setelah itu Ayah akan mati. Lebih baik Ayah tidak melihatmu pergi Aldo. Antarkan Ayah malam ini juga ke panti.”
Aldo tersentak mendengar kata-kata ayahnya itu. Lama ia terdiam. Kemudian, katanya, baik Ayah. Kita kompromi. Esok pagi sebelum aku berangkat, aku akan antar Ayah dulu ke panti. Setelah itu, baru aku terus ke bandara.
Opa Priyo tampaknya setuju. Ia tak membantah lagi dan terus menuju kamar tidur. Menjelang terpejam, ia membayangkan sedang berada di warung belakang panti bersama Bang Rusdi sambil bercakap-cakap mengenai apa saja yang ingin dibicarakan. Mereka berdua merasa saling cocok, saling mendengarkan. Itulah yang dibutuhkan Opa Priyo di masa senjanya. Akhirnya, ia tertidur setelah merasa lelah.
Suasana berkabung menyambut kedatangan Opa Priyo pagi itu. Bang Rusdi telah meninggal sehari sebelumnya dengan tenang dan tersenyum. Jenazahnya segera dijemput anak-anaknya. Opa Priyo merasa lemas. Ia menghempaskan tubuhnya yang renta itu ke kasur. Ia mulai merasa tak enak badan dan merasa sakit-sakit di seluruh persendiannya. Rematiknya kambuh. Ia meneteskan air mata dan merasa amat cengeng.
“Susul aku, Rusdi,” seakan-akan suara Bang Rusdi menggema di rongga telinganya. Tapi setelah itu, setelah Eni dan Aldo meninggalkannya, nafasnya mulai terasa sesak. Makin lama makin sulit bernafas. Akhirnya, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, memencet bel.
Petugas di kantor piket kesehatan melihat warna merah di angka 8, lalu mencocokkan angka itu dengan nama penghuninya. Tak lama kemudian, petugas kesehatan berlari-lari sambil mendorong tabung oksigen yang diikuti oleh langkah bergegas seorang dokter di belakangnya.
Kedua perawat dan dokter itu ternganga ketika melihat jasad Opa Priyo telah kaku di tempat tidurnya.

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

KEMEWAHAN BUKAN SEGALANYA

Vina meneleponku hari Sabtu pagi, saat aku membersihkan kamar mandi.
“Kau mau main ke rumahku, tidak?” tanyanya.
“Mama kedatangan beberapa temannya, dan sekarang mereka pergi berkuda. Aku bosan sendirian di rumah.”
“Wah, tidak bisa,” desahku. “Hari Sabtu waktunya mengerjakan tugas-tugas rumahtangga.”
Vina terdengar kecewa. “Tapi Riri akan datang. Begini saja, datanglah agak siang, kalau tugas-tugasmu sudah selesai.”
Aku menutup telepon dan melihat Lita berdiri di belakangku. “Telepon dari siapa?” tanyanya.
“Vina Angelica,” jawabku. “Dia mengundangku ke rumahnya. Tapi aku belum selesai membersihkan kamar mandi, dan sesudah itu aku harus…”
Lita meletakkan tangan di bahuku dan meremasnya. “Biar aku saja yang mengerjakannya, Upik Abu. Pergilah ke pesta dansa.”
Setengah jam kemudian, aku sudah dalam perjalanan ke rumah Vina. Lita baik sekali. Dia berhasil membujuk ayah dan ajaibnya ayah memperbolehkan aku pergi. Aku bisa bebas sehari ini tanpa dibebani tugas-tugas rumahtangga. Horeee! Seandainya saja Lita mau tinggal bersama kami selamanya, pikirku pasti hidup ini akan terasa menyenangkan. Aku tahu Ayah mengkhawatirkan tanggapanku dan adik-adikku tentang hal itu, tapi sebenarnya kami tidak keberatan. Aku pernah berusaha mengajaknya bicara mengenai hal itu beberapa minggu lalu, tetapi Ayah cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan. Sayang sekali, karena kami semua menyukai Lita dan ingin Ayah bahagia, tapi waktu aku berusaha mengutarakan hal itu padanya, Ayah malah bergumam tidak jelas, mengatakan kami adalah tanggungjawabnya, lalu bergegas pergi ke toko.
Segala perenunganku akhir-akhir ini akan kebenaran dan bersikap jujur, juga ada kaitannya denganku dan Ayah. Bukannya kami tidak jujur satu sama lain, tapi kami lebih sering tidak mengungkapkan seluruh kebenaran. Suatu hari nanti, kami harus duduk dan berbicara empat mata tentang banyak hal, aku memutuskan dalam hati.
Pagi itu, langit biru tak berawan saat aku mengayuh sepeda menuju rumah bibi. Rasanya udara cerah berhasil menghalau semua kekusutan dalam otakku. Ada yang namanya kebenaran, pikirku, berikutnya bohong putih, lalu setengah kebenaran, kemudian kebohongan. Lalu ada kebohongan baik dan buruk, sebagian untuk melindungi, sebagian untuk menghindari keributan, tapi kurasa ada juga yang benar-benar tindakan pengecut.
Aku memutuskan akan mencatat semua kebohongan atau bohong putih yang kulakukan mulai besok.
Sepuluh menit kemudian, aku meninggalkan rumah bibi dan sampai di rumah Vina. Tapi bagaimana caranya aku masuk ke sana? Pagar besi tinggi yang megah itu tertutup rapat di depanku. Kulihat kotak interkom kecil terpasang di salah satu pilar yang ada di sana. Kutekan tombolnya.
Kamera langsung bergerak dan menyorot wajahku. Aku memasang wajah tersenyum penuh harap.
“Hai, Cha, masuklah,” kata Vin melalui interkom. Detik berikutnya aku mendengar suara mendengung dan seperti disulap, gerbang besar itu mulai terbuka.
Sambil mengayuh sepedaku masuk, naik turun menyusuri jalan masuk yang berkelok-kelok, aku mulai merasa minder. Walaupun sudah pernah datang ke sini sebelumnya bersama Ayah. Kali ini, aku masuk ke sana sebagai tamu. Setidaknya James tidak ada di sini. Seandainya dia ada, tidak sanggup aku ke sini.
Rasanya lama sekali bersepeda menuju rumah Vina, melewati kandang-kandang kuda, lumbung-lumbung, dan hutan kecil yang seolah tidak berujung. Aku mulai berpikir aku tersesat ketika mendadak pepohonan seolah terbuka. Lalu, aku melihat Vina dan Riri berdiri menungguku di ujung jalan bersama dua anjing berbulu cokelat kemerahan.
Rumahnya megah sekali, seperti hotel kuno, berdiri dengan hutan mengelilingi di bagian belakang dan kedua sisi. Di depannya, tampak teras panjang yang dipenuhi pohon-pohon palem besar dalam pot-pot raksasa.
“Wow, Cha, kau harus melihat-lihat tempat ini,” seru Riri dengan wajah berseri-seri begitu aku turun dari sepeda dan langsung disambut dua anjing itu, seolah-olah aku sahabat lama. “Benar-benar menakjubkan. Mereka punya lapangan tenis sendiri, juga kolam renang, dan ruang bilyar.”
“Kenalkan, ini Max dan Molly,” kata Vina.
“Duduk, anjing pintar, duduk.” Max menurut, tapi Molly sepertinya suka padaku dan menggigit lengan bajuku kuat-kuat.
“Duduk, Molly, duduk. Maaf, Cha, dia masih muda dan terlalu girang bila ada orang datang.”
“Tidak apa-apa,” kataku sementara Vina melepaskan Molly dariku. Aku menyandarkan sepeda di teras dan memandangi mobil-mobil yang diparkir di sebelah rumah. Mercedes perak mengkilap, BMW hitam, dan Range Rover. “Supirku sibuk, jadi aku datang naik sepeda,” candaku sambil tertawa.
Vina tersenyum malu. “Kau mau masuk? Aku akan mengajakmu berkeliling melihat-lihat. Itu kalau Riri tidak keberatan melihatnya lagi.”
“Tidak, tentu saja tidak,” jawab Riri.
Kami mengikutinya melewati teras dan berjalan memasuki pintu yang mengarah ke ruang depan dengan langit-langit tinggi menjulang, kaca-kaca besar, serta tangga lebar.
“Ini ruang duduk,” kata Vina sambil berjalan mendahuluiku memasuki ruangan elegan dengan jendela kaca yang besar sekali dan tirai-tirai tebal yang menjulur menyapu lantai. Melalui jendela itu terlihat pemandangan menakjubkan: halaman depan yang melandai ke arah laut.
“Di sana mereka punya pantai pribadi,” cerita Riri, yang tampak senang berada di sini. “Juga kapal-kapal pribadi.”
Sambil berjalan mengikuti mereka dari kamar ke kamar, aku juga mulai merasa senang. Rasanya seperti turis yang melihat-lihat rumah bersejarah para bangsawan. Belum pernah aku melihat tempat semewah ini, kecuali hotel tempat Nenek Brenda yang menikah tahun lalu.
Setiap ruangan yang ada di lantai bawah memiliki perabotan yang indah sekaligus nyaman, perapian terbuka dengan keranjang-keranjang berisi kayu bakar di sebelahnya, dan dimana-mana bertebaran barang yang tampak antik dan berharga. Tapi yang paling asyik, di setiap ruangan ada televisinya. Di lantai atas, semua kamar tidurnya memiliki kamar mandi bahkan sebagian kamar mandi itu juga dilengkapi televisi.
“Pasti oke banget tinggal di sini,” kataku.
“Tidak harus berbagi kamar tidur atau kamar mandi. Pasti enak rasanya punya televisi sendiri.”
“Kalau begitu, mudah-mudahan suatu hari nanti kau mau kuajak menginap di sini,” kata Vina. “Mama paling senang menerima tamu.”
“Wah, kami berminat sekali,” jawabku sementara Vina mengajak kami berjalan menyusuri koridor dan memasuki kamar tidur lain.
“Ini kamar tidur si Tuan Muda Pangeran,” kata Vina.
“Kamar James,” timpal Riri sambil nyengir di belakang punggung Vina.
Aneh rasanya melihat-lihat barang pribadi cowok itu. Di sana banyak terpajang foto James bersama teman-teman dan keluarganya, dan melihat foto-foto itu membuat perutku terasa aneh. Kembali ke otakmu, perintahku pada pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala. Sebenarnya aku tidak ingin berlama-lama di sana, tapi Riri sibuk meneliti isi rak James, melihat-lihat koleksi buku dan kaset CD-nya.
Sepanjang sisa siang itu kami habiskan untuk “tur” keliling rumah, tapi bahkan setelah dua jam berlalu, kami masih belum melihat semuanya.
“Sekali-kali, kau harus datang ke rumahku dan melakukan “tur” juga di rumah kami,” kataku sambil tertawa. “Tidak sampai lima menit sudah selesai. Tiga kamar di atas, dua di bawah, dan sebuah kamar mandi kecil.”
“Kalian tidak keberatan, kan?” tanya Vina saat kami berhenti di puncak halaman.
“Keberatan pada apa?” Tanya Riri, kebingungan.
Vina melambaikan kedua ke sekelilingnya. “Semua ini.”
“Keberatan? Aku suka sekali,” kataku.
“Masalahnya, terkadang ada orang yang bersikap agak aneh karena keluarga kami punya begitu banyak, kalian tahu lah…”
“Maksudmu iri?” tanyaku.
Vina mengangguk. Mudah-mudahan saja hal ini tidak membuat kalian enggan berteman denganku.”
“Tentu saja tidak,” sahutku. “Maksudku, tentu saja aku agak iri, siapa yang tidak sih? Tapi sebenarnya aku berharap kau akan mengajakku dan Rini pindah ke sini. Tidak akan ada yang sadar kalau kami ada di sini. Kami bisa tinggal di salah satu kandang kuda itu bersama kuda-kuda peliharaanmu.”
Vina tertawa dan terlihat lega. “Bagus, kalau begitu ayo kita cari Minah dan minta dibuatkan minum.”
“Siapa Minah?” tanya Riri.
Vina tampak malu. “Pengurus rumahtangga kami. Maaf.”
Sambil berjalan mengikuti Vina kembali ke rumah dan masuk ke dapur yang bahkan lebih besar daripada seluruh ruangan di dalam rumah kami bila dijadikan satu, terpikir olehku betapa anehnya manusia itu. Lihat saja Vina, yang memiliki segalanya: kecantikan, orangtua glamor, rumah mewah nan megah, pengurus rumahtangga, kamar tidur dan kamar mandi pribadi, televisi, dan entah apalagi, tapi dia malah khawatir kami tidak mau berteman dengannya. Tapi kemudian aku sadar bahwa satu-satunya yang tidak dia miliki di sini adalah teman.
Padahal justru temanlah yang membuat kita merasa betah tinggal di mana saja, baik itu di rumah megah seperti ini, maupun di rumah mungil seperti rumahku. Setelah kehilangan orang terdekat seperti ibumu, kau dengan cepat belajar bahwa orang-oranglah yang terpenting dalam hidup ini. Kupandangi Vina dengan kekaguman yang semakin bertambah. Dia memiliki segalanya tapi sama sekali tidak sombong. Tidak seperti orang kaya yang pada umumnya angkuh. Itulah yang terpenting, pikirku, dan jelas Vina menyadari hal itu. Mudah-mudahan kami bisa berteman baik.

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

BUNGA PEMBAWA KEBERUNTUNGAN

Malam itu, Pak Nana merogoh dompetnya. Ia hanya menemukan sedikit uang dalam dompetnya tersebut. Baru saja, ia menerima telepon dari rumah sakit. Ia mendapat kabar, adik perempuannya mendapat kecelakaan. Lukanya tidak parah, tetapi dokter menyarankan agar ia menginap.
Setelah mengenakan jaket tebal penahan dingin, Pak Nana segera memanggil taksi. Ia akan menengok adiknya. Sekali lagi dihitungnya uang yang ada di dompet. Setelah dipotong biaya taksi, hanya ada sisa sedikit. Pak Nana memutuskan sisa dari uangnya itu akan dibelikan bunga.
Sesampainya di rumah sakit, Pak Nana langsung menemui perawat yang bertugas.
“Adik Tuan baru saja pulang. Ia tidak mau menginap di rumah sakit. Dokter terpaksa mengizinkannya,” ujar perawat itu.
“Hm, dia memang keras kepala. Baiklah kalau begitu. Besok pagi saya akan menemuinya,” kata Pak Nana kecewa sambil memandang bunga yang terlanjur dibelinya.
Setibanya di rumah, udara terasa semakin dingin. Ketika Pak Nana hendak membuka pintu, terdengar suara kecil dari belakang.
“Tolong saya, Tuan. Saya tidak punya makanan untuk makan malam ini,” ujar suara itu memelas. Ternyata, pemilik suara itu adalah seoarang anak lelaki berusia sekitar 14 tahun. Bajunya kumal dengan wajah mengundang iba.
“Saya tidak punya makanan. Apalagi uang. Tapi, kalau kau mau bunga ini, ambillah,” ujar Pak Nana.
“Bunga tidak bisa dimakan, Tuan.”
“Jual saja! Kau pasti dapat uang.”
Sejenak anak itu ragu-ragu. Akan tetapi, akhirnya, bunga itu ia terima juga. Kemudian, ia segera pergi.
Sepuluh tahun kemudian, Pak Nana telah lupa pada peristiwa itu. Hingga pada suatu hari.
Sore itu, Pak Nana pulang kerja. Ketika di tepi jalan menuju rumahnya, ia dibuat heran. Tampak sebuah mobil bagus berwarna gelap diparkir di depan rumahnya.
“Siapa pemilik mobil itu?” tanya Pak Nana dalam hati. Seingatnya tak seorangpun temannya yang memiliki mobil seperti itu.
“Nana, kamu dicari sahabat lamamu,” seru istrinya ketika melihat Pak Nana datang.
Di ruang tamu, tampak seorang anak muda dengan pakaian jas penuh wibawa. Nana sama sekali tidak mengenalnya. Ia berusaha mengingat-ingat kawan lamanya dulu.
“Mungkin, Bapak sudah lupa kepada saya,” ujar pemuda itu sambil tersenyum. Pak Nana mengangguk.
“Tapi, semoga saja Bapak ingat dengan ini,” lanjut pemuda itu sambil memegang setangkai bunga segar.
“Saya juga belum ingat siapa Anda,” kata Pak Nana.
“Baiklah,” akhirnya pemuda itu menyerah. Memang pertemuan kita hanya sekejap dan itu sudah lama sekali. Dulu ketika kecil, saya adalah seorang gelandangan yang miskin. Suatu malam, saat perut saya kelaparan, Bapak memberi saya seikat bunga. Bapak menyarankan untuk menjual bunga itu. Tidak saya duga bunga itu laku. Sebagian uangnya saya gunakan untuk membeli satu apel untuk makan malam. Sisanya saya gunakan untuk modal. Begitulah. Mulai saat itu, saya jual-beli bunga kecil-kecilan. Ternyata usaha saya berkembang hingga bisa mendirikan kios kecil. Sekarang saya punya tanah sendiri, toko sendiri, dan beberapa usaha yang lain. Ini semua berkat jasa Bapak. Dengan seikat bunga keberuntungan dari Bapak itulah saya mulai semuanya,” ujar pemuda itu panjang lebar.
Pak Nana tersenyum mendengarnya. Ia telah ingat sekarang. Rupanya bunga pemberiannya dulu telah berhasil mengubah hidup seseorang. Ditepuknya pundak anak itu, sambil berkata serius,” Tanpa semangat dan kerja kerasmu, bunga itu tidak akan berarti apa-apa.”

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

ORANGTUA BERARTI LUARBIASA BAGIKU

Setiap anak yang dilahirkan di dunia pasti memiliki sosok kedua orangtua yaitu ayah dan ibu. Bagi yang beruntung akan dibesarkan oleh orangtua yang lengkap yaitu didampingi oleh ayah dan ibu hingga dewasa bahkan hingga menikah. Namun bagi yang kurang beruntung, hanya dibesarkan oleh orangtua yang tidak lengkap, mungkin didampingi oleh ibu saja atau ayah saja. Tapi menurut saya kasihsayang yang diberikan oleh orangtua yang tidak lengkap pasti besarnya sama dan setulus kasihsayang dari kedua orangtua yang lengkap. Bahkan orangtua yang mampu membesarkan anaknya seorang diri merupakan sosok orangtua yang hebat dan sangat luarbiasa.
Bercermin dari kondisi di atas, saya termasuk kategori orang yang beruntung karena hingga saat ini masih didampingi oleh keluarga yang lengkap yaitu didampingi ayah dan ibu. Saya juga memiliki dua orang adik yaitu perempuan dan laki-laki. Hari-hari yang saya lalui terasa begitu menyenangkan bersama mereka semua karena saya merasa tidak kekurangan sesuatu apapun dan saya berterimakasih kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya tersebut.
Kedua orangtua saya pada dasarnya merupakan sosok yang sangat hebat dan luarbiasa. Ayah saya merupakan sosok yang rela berkorban, tegas, pekerja keras, gigih dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ayah saya rela berkorban demi kepentingan apapun, tidak peduli risiko besar yang akan dihadapi. Ayah saya tegas dalam mendidik anak-anaknya terlebih lagi terhadap anak-anaknya yang perempuan. Beliau selalu mengingatkan untuk menjaga sikap, kehormatan serta nama baik keluarga ketika berada di luar lingkungan rumah. Ayah saya sosok pekerja keras yang bekerja tanpa mengenal waktu, berangkat kerja selalu pagi-pagi sekali kemudian pulang kembali ke rumah sore hari atau bahkan malam hari, tetapi Beliau tidak pernah mengeluh karena melakukannya secara tulus demi keluarga tercinta. Ayah saya bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi didalam lingkungan keluarga. Beliau selalu tidak pernah putus asa dan pantang menyerah dalam mencari solusi-solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan baik. Ayah juga selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya dalam segi apapun terutama di bidang pendidikan. Anak-anaknya akan diberikan pendidikan yang layak hingga mencapai jenjang yang tinggi tidak peduli banyaknya materi yang dikeluarkan. Beliau hanya memiliki tekad dan tujuan agar anak-anaknya kelak berguna bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Sosok ayah bagi saya merupakan sosok yang kuat dan hebat, bila diibaratkan ayah merupakan nahkoda kapal dan kami keluarganya merupakan awak dalam kapal tersebut, yang artinya apabila nahkoda kapal dapat mengarahkan kapalnya ke arah yang benar maka awak kapalpun akan terbawa kepada arah yang benar sehingga tujuan hidup bahagia akan tercapai.
Tidak hanya ayah saja yang begitu hebat peranannya dalam kehidupan saya dan keluarga. Ibu juga memiliki peranan yang tak kalah pentingya dengan peranan seorang ayah. Ibu saya merupakan sosok yang sabar dan bijaksana dalam hal apapun. Ibu juga merupakan sosok yang begitu bermakna dan berharga dalam kehidupan keluarga. Seperti yang kita ketahui ibu merupakan sosok yang melahirkan seluruh anak-anak di dunia ini. Selama sembilan bulan, Beliau tulus dengan ikhlas mengandung tanpa mengeluh sedikitpun hingga pada saat waktunya tiba untuk melahirkan, Beliau juga rela mengorbankan jiwa dan raganya agar anak yang dilahirkannya berada dalam kondisi sehat jasmani dan rohani. Tugas seorang ibu tidak berhenti sampai disitu saja, setelah selesai melahirkan anaknya maka ibu memliki tugas untuk merawat, menjaga dan membesarkan anak tersebut hingga dewasa. Ketika anak tersebut telah mencapai usia dewasa, ibu tetap memliki peranan penting untuk anaknya tersebut seperti memberikan motivasi dan arahan untuk anaknya memilih pasangan hidup. Jika anak tersebut telah memiliki pasangan hidup kemudian memiliki keturunan, ibu tetap saja memiliki peranan penting untuk anaknya yaitu secara sukarela ibu pasti akan membimbing anaknya dalam hal merawat dan menjaga cucunya tersebut hingga dewasa. Tidak dapat dibayangkan memang tugas seorang ibu dalam kehidupan keluarganya berjalan sepanjang masa tanpa mengenal ruang dan waktu hingga akhir hayat hidupnya. Tidak salah apabila banyak hal-hal yang mengangkat derajat seorang ibu, seperti halnya di dunia telah diakui adanya Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember dan ada pepatah yang menyebutkan “Surga itu di bawah telapak kaki Ibu.”
Kedua orangtua baik ayah maupun ibu, keduanya merupakan sosok yang sangat berarti luarbiasa dalam kehidupan saya karena tanpa keberadaan mereka di samping saya, belum tentu saya dapat tumbuh dan hidup menjadi sosok manusia seperti saat ini yang begitu semangat untuk meraih cita-cita yang saya inginkan. Cita-cita tersebut memang saya tujukan semata-mata hanya untuk memberikan kebahagiaan kepada kedua orangtua saya serta berusaha membalas jasa-jasa mereka selama ini walaupun mereka selalu mengatakan tidak mengharapkan balasan apapun dari anak-anaknya dan saya menyadari pula bahwa jasa-jasa mereka tidak dapat dibalas oleh sesuatu apapun, tetapi setidaknya memberikan rasa kebanggaan kepada kedua orangtua dengan menjadi anak yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara merupakan kewajiban seutuhnya dari seorang anak kepada kedua orangtua.

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12
Powered By Blogger