Minggu, 02 Mei 2010

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

RIWAYAT HIDUP CHAIRIL ANWAR

Ayah Chairil Anwar bernama Tulus, dan ibunya Saleha. Mereka berasal dari Payakumbuh, Sumatra Barat. Dalam perantauan di Medan, Sumatra Utara, lahirlah Chairil Anwar, 22 Juli 1922. Anak bungsu ini hanya mempunyai seorang kakak. Ayah Chairil pegawai di kantor Belanda dengan kedudukan dan gaji yang cukup baik, di Medan.
Sejak kecil Chairil Anwar sudah menunjukkan otak yang cerdas. Dia pandai dalam banyak pelajaran di kelas sehingga guru-gurunya di HIS di Medan sayang padanya. Padanan HIS masa kini adalah SD. Karena bahasa pengantar di HIS adalah bahasa Belanda, Chairil menguasai bahasa Belanda sejak kecil, baik secara lisan maupun tertulis.
Dia melanjutkan pelajaran ke SMP (MULO). Di sekolah ini ia hanya duduk di Kelas Pendahuluan (voorklas) dan Kelas I, kemudian Kelas II di Jakarta. Chairil pindah ke Jakarta tahun 1941, atau saat berumur 19 tahun. Dia tidak tamat MULO karena kesulitan ekonomi. Ketika itu tentara Jepang menduduki Indonesia, yaitu tahun 1942.
Sejak kecil Chairil Anwar suka membaca buku. Ketika masih di SD, dia sudah membaca buku-buku sastra yang dibaca siswa SMA, bahkan orang dewasa. Penguasaan bahasa asingnya, di samping bahasa Belanda, bertambah lagi dengan bahasa Inggris dan Jerman.
Dengan tiga bahasa asing ini jendela sastra dunia terbuka lebar bagi Chairil. Dia lahap semua buku yang bisa lewat tangannya, apakah itu pinjaman lewat teman, kenalan, atau perpustakaan, juga “pinjaman permanen” dari toko buku. Banyak beredar anekdot mengenai cara-cara penyair itu mengambil alih buku sastra dari toko secara tidak diketahui penjaga toko.
Puisi-puisi yang dibacanya itu diserapnya dalam ingatan, dan dalam waktu singkat hafal olehnya. Dia gemar baca puisi luar kepala di depan sahabat-sahabatnya, yang terheran-heran mendengarkannya. Sebagai penyair yang cerdas, Chairil memiliki kepribadian dengan individualisme yang kuat. Pendiriannya tegar. Cara berpakaiannya rapi dan necis walaupun di zaman pendudukan Jepang itu kehidupan ekonominya payah. Jadi, Chairil bukan tipe seniman berpakaian kumal seenaknya, seperti banyak diduga orang.
Dalam lingkaran pergaulan seniman dan budayawan Jakarta, Chairil Anwar mulai dikenal ketika berumur 21 tahun, pada tahun 1943. Dia sering datang ke kantor redaksi Majalah Panji Pustaka mengantarkan puisi-puisinya. Chairil juga bergaul dengan seniman-budayawan yang lebih senior di Kantor Pusat Kebudayaan yang dibentuk tentara pendudukan Jepang yang bernama Keimin Bunka Shidoso.
Tiga bulan lamanya Chairil Anwar menjadi redaktur Majalah Gema Suasana (Januari-Maret 1948), ketika itu dia berumur 26 tahun. Dia tidak betah di sana dan keluar. Kemudian Chairil pindah kerja di mingguan berita Siasat, jadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin.
Chairil Anwar beristrikan Hapsah, putri dari Hajah Wiredja, 6 September 1946 di Karawang, Jawa Barat. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang putri, Evawani Alissa, 17 Juni 1947. Evawani alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan kini menjadi notaris di Jakarta.
Chairil tidak cermat menjaga kesehatannya. Gaya hidupnya tidak terdukung oleh kondisi fisiknya. Dalam keadaan demikian, dia masih menulis dari tangannya lahirlah puisi-puisi besar yang memperkaya khasanah sastra modern Indonesia.
Akhirnya, batas terlampaui juga. Chairil menghembuskan napas terakhir, 28 April 1949, di Rumah Sakit CB2 (kini RS Cipto Mangunkusumo). Dia berumur 26 tahun 9 bulan, masih begitu muda, sseperti yang pernah diperkirakan dalam salah satu puisinya. Dia dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta, 30 April 1949.
Kumpulan puisinya baru terbit setelah ia meninggal, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir bersama Asrul Sani, Rivai Apin (1950).

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Powered By Blogger