Kamis, 29 April 2010

Tulisan Portofolio Bahasa Indonesia 2

TEMPAT TERAKHIR

Seminggu bersama Aldo, Opa Priyo merasa kecapaian. Ada-ada saja cara yang dirancang Aldo, mulai dari ziarah ke kubur ibunya, mengadakan upacara doa dan selamatan di rumah Eni, wisata berkeliling tempat-tempat wisata di sekitar kota Yogyakarta, acara foto-foto bareng yang akan dibawa ke Eropa, dan banyak lagi yang membuat lelaki 80 tahun itu merasa tersiksa. Lelaki tua itu paham bahwa Aldo ingin berbuat baik pada ayahnya sekaligus ingin melepas segala kerinduannya. Namun, di sisi Opa Priyo, semua itu tak banyak artinya.
Semula ia berjanji dengan Bang Rusdi akan kembali ke panti setelah tiga hari bersama Aldo. Di hari yang kedelapan, hari terakhir Aldo berada di Yogyakarta, Opa minta diantarkan malam itu juga ke panti.
“Esok masih ada hari, Ayah. Besok saja. Sebaiknya Ayah melepasku di bandara, biar aku merasa puas.”
“Tapi justru Ayah merasa terpukul melepasmu. Seolah-olah itulah hari terakhir kita bersama. Setelah itu Ayah akan mati. Lebih baik Ayah tidak melihatmu pergi Aldo. Antarkan Ayah malam ini juga ke panti.”
Aldo tersentak mendengar kata-kata ayahnya itu. Lama ia terdiam. Kemudian, katanya, baik Ayah. Kita kompromi. Esok pagi sebelum aku berangkat, aku akan antar Ayah dulu ke panti. Setelah itu, baru aku terus ke bandara.
Opa Priyo tampaknya setuju. Ia tak membantah lagi dan terus menuju kamar tidur. Menjelang terpejam, ia membayangkan sedang berada di warung belakang panti bersama Bang Rusdi sambil bercakap-cakap mengenai apa saja yang ingin dibicarakan. Mereka berdua merasa saling cocok, saling mendengarkan. Itulah yang dibutuhkan Opa Priyo di masa senjanya. Akhirnya, ia tertidur setelah merasa lelah.
Suasana berkabung menyambut kedatangan Opa Priyo pagi itu. Bang Rusdi telah meninggal sehari sebelumnya dengan tenang dan tersenyum. Jenazahnya segera dijemput anak-anaknya. Opa Priyo merasa lemas. Ia menghempaskan tubuhnya yang renta itu ke kasur. Ia mulai merasa tak enak badan dan merasa sakit-sakit di seluruh persendiannya. Rematiknya kambuh. Ia meneteskan air mata dan merasa amat cengeng.
“Susul aku, Rusdi,” seakan-akan suara Bang Rusdi menggema di rongga telinganya. Tapi setelah itu, setelah Eni dan Aldo meninggalkannya, nafasnya mulai terasa sesak. Makin lama makin sulit bernafas. Akhirnya, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, memencet bel.
Petugas di kantor piket kesehatan melihat warna merah di angka 8, lalu mencocokkan angka itu dengan nama penghuninya. Tak lama kemudian, petugas kesehatan berlari-lari sambil mendorong tabung oksigen yang diikuti oleh langkah bergegas seorang dokter di belakangnya.
Kedua perawat dan dokter itu ternganga ketika melihat jasad Opa Priyo telah kaku di tempat tidurnya.

Annisa Putri R.
10107214
3 KA 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Powered By Blogger