Kamis, 07 April 2011

Softskill Etika dan Profesionalisme TSI




CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK SEORANG PENGACARA DI INDONESIA

Berikut ini adalah contoh kasus-kasus pelanggaran kode etik seorang pengacara beserta sanksi-sanksinya yang penulis temukan dari beberapa sumber, antara lain:
1.) Pada tahun 2002 Todung adalah salah seorang anggota Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan (TBH KKSK) mewakili Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) cq Menteri Keuangan cq Pemerintah RI untuk melakukan legal audit terhadap Salim Group yang memiliki antara lain Sugar Group Companies. Namun pada 2006, Todung malah menjadi kuasa hukum Salim Group dalam perkara Sugar Group di Lampung. Perbuatan Todung menjadi kuasa hukum Salim itu diadukan ke Dewan Kehormatan Peradi oleh Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum Sugar Group. Atas kasus tersebut, Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta memberhentikan secara tetap Todung Mulya Lubis sebagai advokat karena terbukti telah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia dan membayar biaya perkara sebesar Rp 3,5 juta.
(Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=199899)

2.) Kasus dugaan pelanggaran kode etik ini terkait sebuah kasus di Pengadilan Niaga Jakarta. Babbington Developments Limited mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian antara PT Polysindo Eka Perkasa Tbk dan para krediturnya. Perjanjian perdamaian ini adalah tindaklanjut dari putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Polysindo pailit. Pengadilan Niaga Jakarta akhirnya menolak permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang kemudian langsung dikasasi oleh Babbington. Dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga, Polysindo memperoleh informasi bahwa kedudukan Babington di Hongkong ternyata palsu. Lalu, Sengketa ini pun merembet ke ranah pidana. Polysindo melalui Mehbob selaku kuasa hukum melaporkan Harry Ponto, kuasa hukum Babington, ke pihak Kepolisian karena dituding mengajukan bukti dokumen palsu. Harry yang juga Sekretaris Jenderal DPN Peradi berkelit. Ia beralasan ada salah ketik, seharusnya kedudukan Babington tertulis di British Virgin Island. Aksi lapor polisi disambut dengan aksi aduan dugaan pelanggaran kode etik ke Peradi. Benny Ponto dan Duma Siagian, rekan kerja Harry di kantor hukum Kailimang and Ponto, mengadukan Mehbob (Teradu I) ke Dewan Kehormatan Peradi DKI Jakarta. Selain itu, Oscar Sagita (Teradu II), Dakila E Pattipeilohy (Teradu III), Peter Kurniawan (Teradu IV), dan Lalu Bayu (Teradu V), semuanya dari kantor hukum Cakra and Co juga dijadikan Teradu. Majelis menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis atau sebagai peringatan keras kepada Terbanding I. Sementara, Terbanding II, III, IV, dan V dikenai sanksi teguran lisan atau sebagai peringatan ringan. Secara tanggung renteng, para terbanding juga diwajibkan membayar biaya perkara total sebesar Rp7 juta.
(Sumber: http://pahamjkt.multiply.com/journal/item/12/Melaporkan_Advokat_Lain_ke_Polisi_adalah_Pelanggaran_Kode_Etik)

3.) Berita di beberapa media massa di Bali (6/11/2009), di depan persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar salah satu saksi (I Nengah Mercadana) dalam perkara pembunuhan A.A. Prabangsa menyatakan bahwa saksi telah diarahkan oleh advokat untuk memberikan keterangan palsu. Tak tanggung-tanggung saksi berani menunjuk tangan ke arah Advokat bernama (I Made Suryadarma) yang disebut saksi sebagai Advokat yang mengarahkannya untuk memberi keterangan palsu. Dengan lugas saksi (I Nengah Mercadana) mengungkapkan cara dari Advokat (I Made Suryadarma) mengarahkannya untuk memberikan keterangan palsu. Walhasil, berbagai komponen hukum terutama dari kalangan profesi advokat mengecam perilaku dari advokat tersebut. Bahkan berbagai organisasi profesi jurnalis gerah dan mulai mengambil tindakan atas peristiwa yang dianggap sebagai pencederaan hukum di Indonesia.
(Sumber: http://alwalindonews.com/blog/2010/08/20/3/)

4.) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) segera mengumpulkan keterangan tentang kemungkinan pelanggaran kode etik advokat oleh Kantor Hukum `Ihza and Ihza`, kantor advokat yang mengurus pencairan uang Tommy Soeharto dari Bank Paribas, London. "Peradi sudah mengagendakan untuk meminta keterangan pada advokat di Ihza and Ihza," kata Sekretaris Jenderal Peradi, Harry Ponto dalam sebuah diskusi yang difasilitasi oleh Indonesian Coruption Watch (ICW) di Jakarta, Senin. Pemeriksaan itu, kata Ponto, terkait dengan penggunaan nama mantan Menteri Hukum dan Ham Yusril Ihza Mahendra dalam nama kantor hukum tersebut. Penggunaan nama orang yang bukan advokat pada sebuah kantor advokat adalah sebuah bentuk pelanggaran kode etik advokat, terutama pasal 3 ayat (1). Menurut Harry, apabila Dewan Kehomatan Peradi benar-benar menemukan pelanggaran kode etik, maka sejumlah advokat yang tergabung dalam kantor hukum `Ihza and Ihza` dapat dikenai hukuman. Hukuman yang dimaksud Harry bervariasi, mulai dari tingkat kesalahan yang dilakukan, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara selama tiga hingga 12 bulan, serta pemberhentian sementara berupa pencabutan izin advokat.
(Sumber: http://www.antaranews.com/view/?i=1177327427&c=NAS&s=)

5.) Sebuah kasus pelanggaran KEAI diajukan oleh Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) kepada Dewan Kehormatan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (DKD PERADI) Jakarta. KASUM mengadukan M. Assegaf dan Wirawan Adnan yang tergabung dalam tim kuasa hukum Pollycarpus Budiharto atas dugaan pelanggaran KEAI. Keduanya dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (e) KEAI. Ketentuan dalam Pasal 7 huruf (e) KEAI mengatur bahwa advokat tidak dibenarkan mengajari dan/atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana. Dalam kasus ini, keduanya dianggap telah mempengaruhi saksi dengan mengirimkan surat klarifikasi kepada Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu, mundurnya kedua pengacara senior tersebut dari tim penasihat hukum Indra Setiawan juga dianggap melanggar kode etik. Kemudian setelah melakukan pemeriksaan atas aduan tersebut, berjalan selama kurang lebih 6 bulan, pada hari Jumat 14 Maret 2007 DKD PERADI menjatuhkan putusan. Dalam putusan tersebut, Majelis Kehormatan yang dipimpin oleh Alex R. Wangge ini menghukum M. Assegaf dan Wirawan Adnan dengan pemberian peringatan keras karena sifat pelanggarannya berat.
(Sumber:
http://yanuaradityap.blogspot.com/2010/05/makalah-etika-profesi-hukum.html)


(Annisa Putri R. 4KA12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Powered By Blogger